Pandemic Covid-19 memaksa seluruh masyarakat dunia termasuk Indonesia untuk menetap dan bekerja dari rumah dalam jangka waktu yang tidak dapat ditentukan karena semakin melonjaknya kasus Covid-19 di Indonesia setiap harinya. Munculnya Covid-19 memberikan banyak dampak kepada masyarakat termasuk keluarga saya. Sebelum masa pandemic, setiap anggota keluarga memiliki kesibukannya masing-masing di luar rumah. Saya yang memiliki kesibukan kuliah dan menetap di daerah sekitaran kampus, Ayah yang bekerja setiap hari di kantor, Ibu yang bekerja freelance beberapa hari, dan Adik yang sekolah setiap hari. Waktu kumpul bersama sebelum masa pandemic biasanya hanya satu kali atau maksimal dua kali dalam seminggu, namun saat masa pandemic ini setiap hari kami sekeluarga berkumpul di rumah. Pada awalnya ini menjadi sebuah berkah karena akhirnya kami sekeluarga dapat lebih sering berkumpul di rumah. Namun ternyata, lebih dari satu bulan berkumpul dan bekerja di rumah juga dapat menyebabkan sebuah konflik.
Saya sebagai seorang mahasiswa semester empat memiliki
kesibukan lain seperti magang dan bergabung organisasi juga saat itu, Ayah saya
seorang wiraswasta, Adik saya seorang siswa yang tengah bersiap ujian untuk
masuk SMA, dan Ibu saya seorang guru freelance
SMA yang biasanya memiliki jadwal yang luar biasa padat menjelang ujian masuk
perguruan tinggi. Orang tua saya mengetahui bahwa saya kuliah dibarengi dengan
magang menjadi asisten peneliti dan bergabung sebuah organisasi di kampus. Namun
orang tua saya mengira karena adanya WFH semua pekerjaan saya akan menjadi
lebih ringan karena semuanya dilakukan secara online. Jadi mereka berpikir bahwa pekerjaan saya bisa disambili
dengan mengurus rumah. Semua pekerjaan rumah mulai dari mencuci sampai mengurus
kebersihan dan kerapihan rumah menjadi tanggung jawab saya di rumah karena adik
saya sibuk mempersiapkan ujian dan Ibu saya memiliki jadwal padat untuk persiapan
ujian masuk perguruan tinggi.
Dari kecil sampai saat ini saya memang dikenal
sebagai anak yang penurut dan jarang mengekspresikan apa yang saya rasakan kepada
orang tua saya. Selain itu, saya juga termasuk tipe orang yang
susah untuk menolak sesuatu. Jadi ketika diberikan tanggung jawab saya selalu
menyanggupi tanggung jawab yang diberikan. Namun ternyata sifat saya yang sulit
menolak dan tidak enakan ditambah adanya masa pandemic ini menyebabkan konflik
dan stres dalam diri saya. Ketika masa pandemic, tugas kuliah saya semakin
banyak dan jadwal kuliah juga menjadi berantakan. Tidak hanya itu, tugas dari
kegiatan magang saya juga semakin menumpuk dan sulit karena semua kordinasi
dilakukan secara online sementara penelitian
harus tetap berjalan. Ditambah lagi, saya juga bergabung organisasi kelompok
studi mahasiswa di kampus. Dalam organisasi kampus saya menjadi staf media
kreatif yang bertugas untuk mengelola konten digital melalui proses design dan editing. Di masa pandemic ini karena organisasi saya tidak dapat
berjalan secara offline maka
organisasi saya memperbanyak jumlah konten online
yang diterbitkan di sosial media agar tetap menjadi organisasi yang aktif,
namun di lain sisi saya sebagai staf media kreatif juga semakin banyak tugasnya
karena hampir setiap hari saya harus selalu membuat design konten dan editing.
Banyaknya tanggung jawab di luar pekerjaan rumah
saja sudah mampu membuat cukup stress, ditambah lagi tanggung jawab mengurus
rumah yang diberikan oleh orang tua
saya. Adanya masa pandemic mebuat saya merasa cemas terjangkit virus Covid-19 karena
ayah saya sesekali masih bekerja di kantor. Selain itu, di masa pandemic ini saya
juga mendaftar beberapa beasiswa namun gagal. Banyaknya tanggung jawab yang
harus saya jalani, adanya ketakutan terjangkit virus, dan banyaknya sebuah
kegagalan membuat pikiran saya benar-benar berantakan dan emosi saya tidak
stabil. Hal ini membuat saya sulit tidur di malam hari dan merasa lelah di pagi
dan siang hari. Karena rasa lelah ini, tanggung jawab saya untuk mengurus rumah
menjadi terbengkalai dan saya jadi suka tidur saat kelas online. Saya tidak menceritakan apa yang rasakan kepada orang tua
saya, sehingga orang tua saya memarahi saya karena dianggap tidak pernah belajar
dan tidak dapat bertanggung jawab untuk membantu orang tua saya mengurus rumah.
Banyaknya konflik yang saya hadapi membuat diri saya menjadi kurang fokus, saat
ujian saya tidak fokus belajar, dalam bekerja saya mengalami banyak kesalahan, dan
emosi saya juga menjadi tidak stabil sampai menyebabkan konflik perbedaan
pendapat dan kesalahpahaman dengan teman dan juga keluarga saya ketika sedang mengobrol.
Banyaknya konflik yang saya hadapi menyebabkan
saya stress dan merasa sendiri karena merasa semua orang tidak ada yang dapat mengerti
saya. Namun teman saya yang sepertinya menyadari perubahan sifat saya yang
tidak stabil dan tidak fokus akhirnya mengajak saya untuk mengobrol dan terbuka
tentang apa yang saya rasakan. Awalnya saya menutupi dan memastikan bahwa
semuanya baik-baik saja karena takut membebani pikiran teman saya. Namun karena
saya merasa stress sampai menyebakan fisik saya yang mudah sakit serta adanya
perang batin dalam diri saya, akhirnya saya bercerita kepada teman saya. Setelah
bercerita saya menjadi sedikit lebih baik, ketika bercerita teman saya
menyadarkan saya bahwa saya terlalu memaksa diri saya untuk menyanggupi seluruh tanggung jawab dan tidak memperhatikan diri saya sendiri, teman saya menyarankan saya untuk quality
time dengan diri saya sendiri guna menjernihkan pikiran dan membangun
komunikasi yang baik dengan orang tua saya. Setelah bercerita keesokan harinya saya
melakukan hal-hal yang saya sangat sukai, yaitu makan, mendengarkan musik,
menonton film, tidur yang cukup, dan melepaskan sejenak tanggung jawab saya. Pada
akhirnya saya juga menceritakan kepada orang tua saya bahwa tanggung jawab belajar,
magang, dan berorganisasi saya semakin padat saat WFH, saya juga bercerita
bahwa saya gagal untuk mendapatkan beasiswa dari beberpa yayasan, dan yang
paling penting saya juga meminta keringanan tanggung jawab rumah oleh orang tua
saya. Setelah saya bercerita, akhirnya orang tua saya mengerti dan mengurangi
tanggung jawab saya mengerjakan pekerjaan rumah, orang tua saya juga memberikan
saya semangat untuk terus berjuang kuliah dan tidak menjadikan kegagalan saya
mendapat beasiswa sebagai suatu beban atau faktor penghambat saya berkembang
karena setiap orang sudah memiliki rezekinya masing-masing.
Dari pengalaman konflik dan stress ini saya
mendapatkan pelajaran bahwa menyayangi diri sendiri dan membangun komunikasi merupakan hal yang paling
penting untuk mengatasi konflik dan mencegah terjadinya lebih banyak stress. Untuk menyayangi diri sendiri kita dapat melakukan teknik manajemen stress untuk diri kita sendiri seperti melakukan relaksasi, anger management, dan mundfullnes
Komentar
Posting Komentar